Senin, 25 Januari 2010

Ransel


Sekitar tahun 80 - ‘90an ada istilah ransel “Rano Karno”. Penyebutan ini karena ransel yang digunakan dalam film yang dibintangi Rano Karno yang bertema hiking ke alam bebas cukup menarik perhatian penggiat alam dekade ‘90an. Menariknya ialah ransel tersebut masih menggunakan frame silinder kira-kira berdiameter 10mm, dan bentuk keseluruhan frame seperti kursi yang tak berkaki, letaknya tepat sebagai penyangga keseluruhan ransel, dan sebagai penyatu antara frame dengan ransel terdapat pengikat knockdown (semacam klep yang dapat dilepas) dan ada juga yang tidak bisa dilepas. Selain berbahan parasut tipis dan berlapis busa tipis, ransel Rano Karno pastinya tidak elastis (karena frame tersebut).

Setelah berbagai macam produk asing masuk ke pasaran Indonesia, model dan harga ransel menjadi pilihan para penggiat alam. Ransel Rano Karno telah masuk “museum”, selain pergerakan dan dinamika para penggiat alam yang makin intens keberbagai gunung dan lokasi alam di seluruh Nusantara, ransel menjadi karakter seorang penggiat alam. Dengan ransel yang berbagai ukuran dan merk penggiat alam pun menjadi sedikit modis, bukan berkesan gembel seperti yang disebut banyak pihak.

Ransel ukuran 70 – 90 liter yang berlatar merk-merk beken itu menjadi satu ukuran kalau “saya mau naik gunung”. Selain kesan gagah saat membawa ransel 70 liter, ternyata pemilihan merk ransel tidak semata branch image dari produk tersebut tetapi karena fungsi, kualitas bahan dan juga kredibel bagi konsumen.

Yang disayangkan hingga kini belum satu pun produsen lokal yang memproduksi ransel yang dapat menyaingi kualitas produk asing, meskipun ada –rumor di komunitas penggiat alam– produk itu pasti plagiat, meski tidak plagiat para konsumen enggan menggunakan produk lokal sebab ada yang mengatakan “kualitasnya tidak bisa dipertangungjawabkan”. Dari sini ada dua hal yang perlu kita ketahui bersama ;pertama, seorang penggiat alam identik dengan semangat nasionalisme ukurannya dapat dilihat saat mereka mengabadikan dirinya dipuncak gunung dengan mengibarkan bendera merah putih, dan disisi lain ransel yang dibawanya justru tidak produk negeri sendiri, ;kedua, keengganan penggunaan produk lokal ini seharusnya menjadi cambuk bagi produsen perlengkapan camping untuk lebih berkualitas dalam memproduksi sehingga pertanggungjawaban yang disebut diatas dapat dipenuhi.

Sialnya, belum atau minimnya para backpackers yang menggunakan ransel produk lokal, perkembangan tekhnologi dalam memproduksi ransel di negara asing kian jauh melesat. Tentunya kualitas ransel yang ditawarkan jauh lebih “mempuni”. Satu hal yang menonjol akhir-akhir ini, ransel 70 – 90 liter oleh sebagian penggiat alam sudah mulai “digantungi” disudut kamarnya. Sebut saja Dimas, menurut pendaki asal Jakarta ini ransel ukuran 90 liter sudah tidak efektif sebab sekarang sudah ada ransel berukuran 35 – 40 liter namun memiliki fungsi ransel 90 liter, “mendingan pakai carrier 40 liter itu dari pada carrier 90 liter, fungsinya engga beda jauh, kalau memang perlu tas tambahan pakai daypack cukup.”

Misalkan ransel 40 liter itu tetap berprinsip muatan 90 liter, logikanya perkembangan teknologi perlengkapan camping tidak hanya terjadi pada ransel pasti juga pada sleeping bag, jacket, alat masak, tenda, playsheet dan perlengkpan camping lainnya. Sebab ketika berbagai kebutuhan itu dimuat di ransel 40 liter berarti dimensi perlengkapan tersebut sudah lebih kecil, namun tetap berkualitas sama. Asumsi lainnya, jika berbagai kebutuhan itu tidak muat dalam ransel 40 liter berarti ada faktor lain yang mendukung misalnya penggiat alam tersebut memiliki teknik kemampuan yang standar dalam berkegiatan di alam terbuka, artinya dia mengetahui hal-hal yang perlu dilakukan di alam terbuka ketika satu perlengkapan yang dibutuhkan tidak dibawa (memanfaatkan potensi alam).

Kita berharap dari perkembangan teknologi dewasa ini dan semakin globalnya persaingan produk yang terjadi justru dapat membawa produsen-produsen lokal di tanah air semakin memacu kreatifitas dan inovasinya dalam meyakini para penggiat alam di negeri sendiri, kalau perlu merubah peta pencitraan merk dari Petzl menjadi Eiger, atau Avtech, Gravell, Conina dan merk lokal lainnya. Semoga!!

Tidak ada komentar: